Al-Quran adalah sumber utama dalam hukum Islam, namun kenapa selama ini
al-Quran diletakkan di nomor belakang setelah adat, fiqh, dan hadis.
Hal ini sudah terjadi sejak lama menimpa sebagian besar umat Islam di
Indonesia dalam memahami Islam. Dimana mereka pertama sekali belajar
fikih dulu lalu baru dicari sumbernya dari hadis lalu dan terakhir
al-Quran dan ini jika dianggap perlu.
Sudah semestinya, menurut
Ustadz Umay Dja’far Shiddiq, sejak usia dini seseorang yang beragama
Islam harus berawal dari pemahaman terhadap induk ajarannya terlebih
dahulu apalagi notabene sudah dijamin kebenarannya oleh Allah swt yaitu
al-Quran, baru berikutnya hadis, baru kemudian fatwa-fatwa ulama. Hal
ini penting agar umat memahami mana yang pokok dan yang cabang. Umat
akan sadar mana yang disepakati dan mana yang dapat diperselisihkan.
Setiap yang ada di al-Quran itu pokok dan qath’iy dan tidak ada
perselisihan.
Dengan pemahaman al-Quran yang baik diharapkan
tidak akan terjadi lagi perselisihan dan permusuhan yang tidak penting
di kalangan umat karena pesan al-Quran itu membawa rahmat dan kedamaian.
Begitu
pentingnya belajar dan mengajarkan al-Quran sampai-sampai Nabi
Muhammad saw turun langsung dan para sahabatnya tekun belajar
mengajarkan al-Quran. Ayat-ayat al-Quran turun silih berganti ke bumi
ini memakan waktu selama dua puluh dua tahun dua bulan dan dua puluh
dua hari lamanya. Pertanyaannya, kenapa 20 tahun lebih baru selesai dan
berhasil?
Mengutip hasil penelitian seorang guru besar Harvard
University, meneliti di 40 negara untuk mengetahui faktor kemajuan atau
kemunduran negara-negara itu. Ternyata, salah satu faktor utamanya
menurut sang Guru Besar adalah materi bacaan dan sajian yang disuguhkan
khususnya kepada generasi muda. Ditemukannya bahwa dua puluh tahun
menjelang kemajuan atau kemunduran negara-negara yang ditelitinya itu,
para generasi muda dibekali dengan sajian dan bacaan tertentu.
Kalau
demikian dampak bacaan terhadap anak-anak kita baru terlihat setelah
berlalu dua puluh tahun, sama dengan lama turunnya al-Quran. Coba
perhatikan, upaya menyebarkan dan memasyarakatkan al-Quran di kalangan
anak-anak, yang dicanangkan pada era 80-an seperti gerakan TPA (Taman
Pendidikan Alquran) dan TKA (Taman Kanak-kanak Alquran) baru terasa
pengaruhnya di era sekarang.
Sebaliknya jika kita perhatikan
perkembangan pornografi yang merebak akhir-akhir ini di Tanah Air
melalui media televisi, video, maupun internet, merupakan dampak majalah
porno atau film-film “panas” pada 20 tahun yang lalu.
Kita
harus cemas dengan nasib anak-anak kita. Selain karena tidak setiap hari
kita bisa menemani anak-anak dan memilih program televisi, majalah,
atau media massa lainnya yang sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan
psikologis anak-anak kita.
Oleh sebab itu, pemahaman orang tua
dan masyarakat dalam membina dan mendidik generasi muda juga perlu
ditingkatkan agar kualitas didikannya mampu mengantarkan anak-anak
secara tulus mencintai al-Quran sama besar dan tulusnya dengan cinta
mereka kepada buku, majalah, kaset, video, film, internet, play station,
dll.
Mengapa orang tua begitu mudah membiarkan anak-anak mereka
menjadi “buta” al-Quran? Bukankah al-Quran adalah pedoman hidup
mereka? Mengapa kita tidak mencoba menanamkan pedoman mulia ini untuk
generasi muda kita agar mereka kuat menghadapi tantangan zamannya yang
mungkin berbeda dengan zaman yang kita hadapi sekarang ini? Mengapa
kita tidak serius mempersiapkan masa depan mereka sejak dini agar
kehidupan mereka 20 tahun yang akan datang bisa tampil menjadi generasi
sahabat al-Quran yang membanggakan? Oleh sebab itu menurut penulis
untuk menghadapi tantangan 20 tahun ke depan maka tugas kita pada saat
ini yaitu meretas generasi Sahabat al-Quran. Yaitu orang-orang yang
hatinya selalu terpatri pada al-Quran, mengimani al-Quran, dan berusaha
mengajarkan dan mengamalkan isi al-Quran dengan penuh keikhlasan.
Makna
lain sahabat al-Quran itu juga adalah sahabat prestasi. Hal ini telah
terbukti dari prestasi Ismail, kelahiran Jakarta 17 September 1996,
siswa SMP Sekolah Daarul Qur’an Internasional (SDQI). Sebagaimana
dimaklumi, di SDQI selain pendidikan agama yang berbasis tahfidz
al-Qur’an juga menganut kurikulum Cambridge yang berbasis sains dan
menggunakan pengantar bahasa Inggris.
Untuk mengikuti pelajaran
dengan baik, maka ia pun belajar sungguh-sungguh, selama 1 tahun belajar
di SDQI terbukti ia berhasil menjadi juara umum di sekolah dengan
nilai rata-rata 9 jauh mengungguli murid-murid lainnya. Ia masuk
sekolah di SDQI bermodalkan hafalan 25 juz yang telah ia hafal sejak
kelas IV SD di pesantren Tahfidz Daarul Huffadz Lampung. Namun di
pesantren ini siswa hanya mempelajari al-Quran dan tidak diajarkan
ilmu-ilmu umum seperti bahasa Inggris, dan sains kecuali 20 % saja.
Kuncinya terletak pada hafalan al-Qurannya yang menjadi modal besar
bagi motivasinya untuk belajar.
Sekali lagi jangan tunggu usia
senja untuk belajar al-Quran. Pengajaran Al-Quran wajib dimulai sejak
usia dini. Apabila diajarkan setelah remaja dan dewasa sudah sangat
terlambat dan kadaluwarsa. Sebaliknya untuk ilmu umum seperti ilmu
terapan dapat diajarkan belakangan, karena ia tidak mengenal batas
usia, bahkan semakin dewasa dan matang berfikir seseorang akan semakin
mudah mencernanya.