Senin, 29 September 2014

Pendidikan Anak dalam Islam

Pendidikan anak adalah perkara yang sangat penting di dalam Islam. Di dalam Al-Quran kita dapati bagaimana Allah menceritakan petuah-petuah Luqman yang merupakan bentuk pendidikan bagi anak-anaknya. Begitu pula dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita temui banyak juga bentuk-bentuk pendidikan terhadap anak, baik dari perintah maupun perbuatan beliau mendidik anak secara langsung.
Seorang pendidik, baik orangtua maupun guru hendaknya mengetahui betapa besarnya tanggung-jawab mereka di hadapan Allah ‘azza wa jalla terhadap pendidikan putra-putri islam.
Tentang perkara ini, Allah azza wa jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (At-Tahrim: 6)
Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban”
Untuk itu -tidak bisa tidak-, seorang guru atau orang tua harus tahu apa saja yang harus diajarkan kepada seorang anak serta bagaimana metode yang telah dituntunkan oleh junjungan umat ini, Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beberapa tuntunan tersebut antara lain:
· Menanamkan Tauhid dan Aqidah yang Benar kepada Anak
Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa tauhid merupakan landasan Islam. Apabila seseorang benar tauhidnya, maka dia akan mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, tanpa tauhid dia pasti terjatuh ke dalam kesyirikan dan akan menemui kecelakaan di dunia serta kekekalan di dalam adzab neraka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni yang lebih ringan daripada itu bagi orang-orang yang Allah kehendaki” (An- Nisa: 48)
Oleh karena itu, di dalam Al-Quran pula Allah kisahkan nasehat Luqman kepada anaknya. Salah satunya berbunyi,
يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar”.(Luqman: 13)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memberikan contoh penanaman aqidah yang kokoh ini ketika beliau mengajari anak paman beliau, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dengan sanad yang hasan. Ibnu Abbas bercerita,
“Pada suatu hari aku pernah berboncengan di belakang Nabi (di atas kendaraan), beliau berkata kepadaku: “Wahai anak, aku akan mengajari engkau beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Jika engkau meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu). Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan manusia)berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah (akan sampai dan mencelakakanmu). Pena telah diangkat, dan telah kering lembaran-lembaran”.
Perkara-perkara yang diajarkan oleh Rasulllah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ibnu Abbas di atas adalah perkara tauhid.
Termasuk aqidah yang perlu ditanamkan kepada anak sejak dini adalah tentang di mana Allah berada. Ini sangat penting, karena banyak kaum muslimin yang salah dalam perkara ini. Sebagian mengatakan bahwa Allah ada dimana-mana. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah ada di hati kita, dan beragam pendapat lainnya. Padahal dalil-dalil menunjukkan bahwa Allah itu berada di atas arsy, yaitu di atas langit. Dalilnya antara lain,
“Ar-Rahman beristiwa di atas ‘Arsy” (Thaha: 5)
Makna istiwa adalah tinggi dan meninggi sebagaimana di dalam riwayat Al-Bukhari dari tabi’in.
Adapun dari hadits,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seorang budak wanita, “Dimana Allah?”. Budak tersebut menjawab, “Allah di langit”. Beliau bertanya pula, “Siapa aku?” budak itu menjawab, “Engkau Rasulullah”. Rasulllah kemudian bersabda, “Bebaskan dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita mu’minah”. (HR. Muslim dan Abu Daud).
· Mengajari Anak untuk Melaksanakan Ibadah
Hendaknya sejak kecil putra-putri kita diajarkan bagaimana beribadah dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mulai dari tata cara bersuci, shalat, puasa serta beragam ibadah lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Al-Bukhari).
“Ajarilah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika mereka berusia sepuluh tahun (bila tidak mau shalat-pen)” (Shahih. Lihat Shahih Shahihil Jami’ karya Al-Albani).
Bila mereka telah bisa menjaga ketertiban dalam shalat, maka ajak pula mereka untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid. Dengan melatih mereka dari dini, insya Allah ketika dewasa, mereka sudah terbiasa dengan ibadah-ibadah tersebut.
· Mengajarkan Al-Quran, Hadits serta Doa dan Dzikir yang Ringan kepada Anak-anak
Dimulai dengan surat Al-Fathihah dan surat-surat yang pendek serta doa tahiyat untuk shalat. Dan menyediakan guru khusus bagi mereka yang mengajari tajwid, menghapal Al-Quran serta hadits. Begitu pula dengan doa dan dzikir sehari-hari. Hendaknya mereka mulai menghapalkannya, seperti doa ketika makan, keluar masuk WC dan lain-lain.
· Mendidik Anak dengan Berbagai Adab dan Akhlaq yang Mulia
Ajarilah anak dengan berbagai adab Islami seperti makan dengan tangan kanan, mengucapkan basmalah sebelum makan, menjaga kebersihan, mengucapkan salam, dll.
Begitu pula dengan akhlak. Tanamkan kepada mereka akhlaq-akhlaq mulia seperti berkata dan bersikap jujur, berbakti kepada orang tua, dermawan, menghormati yang lebih tua dan sayang kepada yang lebih muda, serta beragam akhlaq lainnya.
· Melarang Anak dari Berbagai Perbuatan yang Diharamkan
Hendaknya anak sedini mungkin diperingatkan dari beragam perbuatan yang tidak baik atau bahkan diharamkan, seperti merokok, judi, minum khamr, mencuri, mengambil hak orang lain, zhalim, durhaka kepada orang tua dan segenap perbuatan haram lainnya.
Termasuk ke dalam permasalahan ini adalah musik dan gambar makhluk bernyawa. Banyak orangtua dan guru yang tidak mengetahui keharaman dua perkara ini, sehingga mereka membiarkan anak-anak bermain-main dengannya. Bahkan lebih dari itu –kita berlindung kepada Allah-, sebagian mereka menjadikan dua perkara ini sebagai metode pembelajaran bagi anak, dan memuji-mujinya sebagai cara belajar yang baik!
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda tentang musik,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ اَلْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Sungguh akan ada dari umatku yang menghalalkan zina, sutra, khamr dan al-ma’azif (alat-alat musik)”. (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Abu Daud).
Maknanya: Akan datang dari muslimin kaum-kaum yang meyakini bahwa perzinahan, mengenakan sutra asli (bagi laki-laki, pent.), minum khamar dan musik sebagai perkara yang halal, padahal perkara tersebut adalah haram.
Dan al-ma’azif adalah setiap alat yang bernada dan bersuara teratur seperti kecapi, seruling, drum, gendang, rebana dan yang lainnya. Bahkan lonceng juga, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Lonceng itu serulingnya syaithan”. (HR. Muslim).
Adapun tentang gambar, guru terbaik umat ini (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) telah bersabda,
كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ
“Seluruh tukang gambar (mahluk hidup) di neraka, maka kelak Allah akan jadikan pada setiap gambar-gambarnya menjadi hidup, kemudian gambar-gambar itu akan mengadzab dia di neraka jahannam”(HR. Muslim).
إِنِّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَاباً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَلْمُصَوِّرُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang paling keras siksanya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para tukang gambar.” (HR. Muslim).
Oleh karena itu hendaknya kita melarang anak-anak kita dari menggambar mahkluk hidup. Adapun gambar pemandangan, mobil, pesawat dan yang semacamnya maka ini tidaklah mengapa selama tidak ada gambar makhluk hidupnya.
· Menanamkan Cinta Jihad serta Keberanian
Bacakanlah kepada mereka kisah-kisah keberanian Nabi dan para sahabatnya dalam peperangan untuk menegakkan Islam agar mereka mengetahui bahwa beliau adalah sosok yang pemberani, dan sahabat-sahabat beliau seperti Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali dan Muawiyah telah membebaskan negeri-negeri.
Tanamkan pula kepada mereka kebencian kepada orang-orang kafir. Tanamkan bahwa kaum muslimin akan membebaskan Al-Quds ketika mereka mau kembali mempelajari Islam dan berjihad di jalan Allah. Mereka akan ditolong dengan seizin Allah.
Didiklah mereka agar berani beramar ma’ruf nahi munkar, dan hendaknya mereka tidaklah takut melainkan hanya kepada Allah. Dan tidak boleh menakut-nakuti mereka dengan cerita-cerita bohong, horor serta menakuti mereka dengan gelap.
· Membiasakan Anak dengan Pakaian yang Syar’i
Hendaknya anak-anak dibiasakan menggunakan pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak laki-laki menggunakan pakaian laki-laki dan anak perempuan menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan anak-anak dari model-model pakaian barat yang tidak syar’i, bahkan ketat dan menunjukkan aurat.
Tentang hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang meniru sebuah kaum, maka dia termasuk mereka.” (Shahih, HR. Abu Daud)
Untuk anak-anak perempuan, biasakanlah agar mereka mengenakan kerudung penutup kepala sehingga ketika dewasa mereka akan mudah untuk mengenakan jilbab yang syar’i.
Demikianlah beberapa tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik anak. Hendaknya para orang tua dan pendidik bisa merealisasikannya dalam pendidikan mereka terhadap anak-anak. Dan hendaknya pula mereka ingat, untuk selalu bersabar, menasehati putra-putri Islam dengan lembut dan penuh kasih sayang. Jangan membentak atau mencela mereka, apalagi sampai mengumbar-umbar kesalahan mereka.
Semoga bisa bermanfaat, terutama bagi orangtua dan para pendidik. Wallahu a’lam bishsawab.
)* Diringkas oleh Abu Umar Al-Bankawy dari kitab Kaifa Nurabbi Auladana karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu dan hadits-hadits tentang hukum gambar ditambahkan dari Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah karya Syaikh Muqbil bin Hadi.
http://anakmuslim.wordpress.com/pendidikan-anak-dalam-islam/

Minggu, 28 September 2014

Ekstrakurikuler Bahasa Mandarin di SDIT Wirausaha Indonesia

Bahasa Mandarin merupakan salah satu bahasa bisnis yang perlu dikenalkan kepada peserta didik. Hal ini sesuai dengan salah satu visi sekolah ini, yaitu berikhtiar menjadi pembibit wirausaha muslim yang mandiri kreatif dan inovatif.

Salah satu bekal yang kami berikan adalah memberikan pembelajaran ekstrakurikuler Bahasa Mandari. Semoga peserta didik ke depan memiliki penguasaan bahasa bukan saja Bahasa Inggris dan Bahasa Arab, tetapi juga Bahasa Mandarin.

Pelajaran Khas SDIT Wirausaha Indonesia: Kewirausahaan



Semua pihak memiliki tanggung jawab dalam menumbuhkan jiwa wirausaha pada anak-anak sejak dini. Keluarga memainkan peranan penting dalam menghasilkan anak yang memiliki sifat mandiri, kreatif dan inovatif. Peranan sekolah juga tidak kalah pentingnya dalam menumbuh kembangkan jiwa wirausaha pada diri anak-anak. Menanamkan jiwa wirausaha pada anak-anak bukanlah pekerjaan instan dan mudah. 

Pendidikan jiwa kewirausahaan sejatinya bukan sekedar mengajarkan anak untuk pintar berdagang, akan tetapi lebih luas dari itu adalah bagaimana proses penerapan kreatifitas dan inovasi dalam memecahkan masalah serta proses dalam menemukan peluang untuk memperbaiki kualitas kehidupan, agar mereka menjadi bagian dari pembangun peradaban manusia. 

Pelajaran Kewirausahaan di sekolah ini diajarkan mulai kelas I sampai dengan kelas V. Semoga apa yang menjadi cita-cita sekolah ini akan berjalan dengan baik sesuai dengan rencana. Amiin.

Kamis, 25 September 2014

Pendidikan Politik untuk Anak-anak

Pendidikan politik itu bukan mendektekan soal politik kepada mereka. Pendidikan politik bukan memintanya mencoblos atau menyuruhnya tidak mencoblos. Pendidikan politik itu bukan menyuruhnya memilih fulan atau melarang memilih fulan. Pendidikan politik itu bukan menjadikan mereka alat politik. Pendidikan politik itu mengajari mereka menatap realitas dan mengokohkan idealita mereka. Semoga dengannya Allah ijinkan mereka pintar, kokoh, dan sabar menatap realitas dan memperjuangkan ide, gagasan dan dakwah.
Pendahuluan
Aku menatap lekat si sulung ketika dia memanfaatkan hak suaranya untuk pertama kalinya di bilik suara. Alhamdulillah. Allah sudah ijinkan dia tumbuh dewasa dan memberikan suaranya untuk masyarakatnya. Pendidikan politik untuknya –tanpa terasa- sudah memasuki tahapan praktik. Ada doa yang teriring ketika menatapnya. Semoga Allah membimbingnya menatap realita kandidat, menatap realita proses pemilihan, menatap realita kemenangan dan menatap realita kekalahan. Semoga keberadaanku dan kebersamaanku dengannya membuat dia pintar melihat realita. Aamiin.

Tulisan ini adalah sebagian hasilku membaca sebuah fakta yang terpampang di hadapanku.

Pendidikan Politik
Sebuah penghelatan politik sedang digelar di kampungku. Pilurdes. Pemilihan Lurah Desa. Gegap gempitanya sudah terasa sejak beberapa bulan terakhir. Puncaknya, pada hari itu. Hari pencoblosan. Hari itu semuanya mencapai titik kulminasi. Lobby, pendekatan, gerilya, politik uang, efektivitas jaringan, hasrat, gairah, ketegangan, dan segenap pernak-pernik penghelatan politik menghiasi kampong kami. Kami bagian dari mereka. Kami adalah mereka.

Sebagai ketua di TPS, aku lebih sibuk soal pernak-pernik pelayanan masyarakat yang akan menyalurkan suaranya daripada menemaninya menentukan pilihan. Aku disibukkan dengan aktivitas meneliti DPT, mengundang masyarakat, rapat panitia, menyusun jadwal, meneliti ketentuan-ketentuan yang terkait pemilihan, mengatur anggaran, pengadaan konsumsi, tender sounds system, menata TPS, mengamankan alat pemilihan, berkoordinasi dengan elemen pengawas dan elemen pengamanan, menandatangani kertas suara, memutuskan beberapa hal di wilayah abu-abu, dan akhirnya menghitung perolehan suara dan melaporkan ke kelurahan. Alhamdulillah, Allah ijinkan aku terlibat dalam penghelatan itu dan merasakan perasaan ketika melayani dan mendidik masyarakat.

Sebagai seorang yang memiliki gagasan, aku juga tak bisa lepas dari menimang dan menilai kandidat. Komunikasi itu cukup intensif. Aku memang memilih untuk tidak masuk dalam kubu manapun. Tapi bukan berarti aku tidak bekomunikasi dengan kandidat. Komunikasi antara aku dan kandidat itu adalah kebutuhan kami, kebutuhanku dan kebutuhan kandidat.

Dua aktivitasku itu relative jauh dari telinga anak-anak. Soal pernik TPS, aku lebih memilih menelan semuanya dan tak mengeluarkannya di hadapan istri dan anak-anak. Aku lebih suka bertanya soal aktivitas senam istriku daripada cerita soal rapat-rapat itu. Soal komunikasi dengan para kandidat, aku kerap mengkomunikasikan dengan istri meski itu kerap satu arah. Istriku lebih sering diam dan menanggapi dalam porsi yang aku suka. Tapi jarang aku membicarakan dua hal itu dengan anak-anak. Apalagi, saat-saat itu bersamaan dengan saat anank-anak sedang berkonsentrasi soal sekolah mereka. Jadi, anak-anak cukup jauh dari tema politik ini. Aku hanya memastikan bahwa mereka bisa berkonsultasi dengan bapaknya soal sekolah mereka.

Maka, jadilah aku hidup dalam sekian kotak persoalan. Aku temani si sulung menyelesaikan SMAnya dan menemaninya memilih tempat belajar selanjutnya. Aku temani anak-anak yang sedang ujian kenaikan kelas. Aku temani mereka yang lulus sekolah dan ikut merayakan keberhasilan mereka.mungkin karena soal suasananya sedang seperti itu, aku jadi tidak banyak mengajak si sulung berbicara politik.

Anak-anak tahu bahwa politik adalah fakta. Kepemimpinan adalah realitas. Dan pemilihannya adalah sebuah proses dengan berjuta wajah. Wajah pemilihan adalah wajah masyarakat. Wajah pemilihan adalah wajah bersama dari keluarga di komunitas ini. Kerakusan, ambisi, prakmatisme dan segenap warna proses pemilihan adalah sebagian wajah bersama dari keluarga di komunitas kami. Anak-anak tahu bahwa bapak dan ibunya adalah mereka yang care soal kepemimpinan masyarakat. Anak-anak tahu mereka untuk masyarakat dan bahwa mereka bersabar menghadapi semuanya. Anak-anak tahu bahwa politik adalah sebagian dari realitas.

Aku baru sadar ketika aku harus menuliskan dua nama anak-anak di lembar undangan pencoblosan. Allah…. Anak-anakku sudah dewasa. Dia sudah menentukan wajah dari masyarakatnya. Dia yang dulu memegang erat ujung kemejaku ketika aku ke bilik suara, besok sudah akan melangkah ke bilik tanpa aku boleh mengintervensinya. Ini saat yang tepat untuk menunjukkan perbedaan dengan orang tuanya. Allah,.,. Tanggung jawab ini serasa sangat berat.

Maka, di kesempatan ba’da magrib, ketika semuanya sudah sholat dan tilawah, aku duduk di ‘singgasanaku’. Istriku duduk diseberangku berbatas meja bundar kuno kecil kami. Anak-anak membaca buku sambil bergeletakan di lantai. Aku letakkan bukuku dan meminta anak-anak bercerita soal realitas politik yang mereka saksikan. Menarik. Cara pandang mereka khas di usianya. Boleh jadi, bagi si kecil, politik itu adalah makan-makan dan pesta-pesta, sedangkan bagi gadisku, politik menjadi sesuatu yang lebih bermakna.

Menyadari bahwa, pendidikan politik kepada anak-anak seharusnya sudah memasuki wilayah praktik, aku agak serius soal politik. Kepada mereka yang akan memilih, aku sampaikan bahwa pemilih yang baik adalah mereka yang memahami realitas dan memiliki idealitas yang kokoh. Kepemimpinan itu realitas manusia sebagai makhluk social. Politik adalah realitas. Kandidat adalah realitas kemanusiaan. Dan proses pemilihan adalah realitas. Bukan tak ada hal ideal soal kepemimpinan, soal politik, soal kandidat, dan soal proses pemilihan. Tapi –sekali lagi- aku ajarkan bahwa pemilih yang baik adalah mereka yang memahami realitas dan memiliki idealitas yang kokoh.

Aku –dengan sadar- ingin membentuk kesadaran jangka panjang pada para pemilih pemula ini. Pilihannya harus pilihan yang berawal dari pemahaman soal realita dan idealita. Sama dan bedanya pilihan antara bapak dan anak itu adalah hasil darisama atau bedanya bapak anak menatap realita dan idealita. Bapaknya tak akan lama lagi bersamanya. Jalannya masih akan panjang. Maka mengajarkan kepintaran menatap realita dan idealita adalah jauh lebih penting dari mendekte dan mendoktrin. 

Maka, aku cuma mendengar dan tak berkomentar ketika si sulung sudah menyelesaikan haknya. Apresiasinya terhadap berbagai cara elemen masyarakat menatap penghelatan itu, hampir tak aku komentari. ‘Nduk, itulah realitas. Kamu harus bersabar dengan realita agar engkau disayang Allah..’.

Pendidikan politik itu bukan mendektekan soal politik kepada mereka. Pendidikan politik bukan memintanya mencoblos atau menyuruhnya tidak mencoblos. Pendidikan politik itu bukan menyuruhnya memilih fulan atau melarang memilih fulan. Pendidikan politik itu bukan menjadikan mereka alat politik. Pendidikan politik itu mengajari mereka menatap realitas dan mengokohkan idealita mereka. Semoga dengannya Allah ijinkan mereka pintar, kokoh, dan sabar menatap realitas dan memperjuangkan ide, gagasan dan dakwah.

Penutup
Kemudian terbayang dengan kuat bagaimana perasaan para nabi yang menyaksikan anak mereka berbeda dan memusuhi mereka. Terbayang bagaimana perasaan para tokoh diuji dengan anaknya. Terbayang dengan lebih kuat semua itu.

‘Can, Allah ijinkan kita cukup kokoh membangun ini semua. Tidak ada pihak yang diijinkan Allah memasuki rumah ini dengan niatan mengajak bersekongkol dalam urusan ini. Allah buat kita tampak berkecukupan sehingga mereka tak melecehkan kita. Allah buat kita sempat menyajikan ide dan gagasan kita. Allah jaga rumah ini dari broker jahat, penjahat politik, dan semacamnya. Kamu harus bersyukur dengan itu, semoga dengan itu semua, anak-anak jadi pintar, kokoh, dan sabar menatap realitas dan memperjuangkan ide mereka kelak.’, kataku pada istriku sambil menyemir sepatuku di pagi hari. Dia diam lagi.

Aku memang menatap lekat si sulung ketika dia memanfaatkan hak suaranya untuk pertama kalinya di bilik suara. Pendidikan politik untuknya –tanpa terasa- sudah memasuki tahapan praktik. Memang telah mengalir doa ketika menatapnya. Semoga keberadaanku dan kebersamaanku dengannya membuat dia pintar melihat realita. Aamiin..
Nduk..

Bantul, 11 Juni 2012
____
catatan:
- Saya bersyukur sudah sempat menulis ini. Politik itu sebagaian dari realita. Dan sebagai sebuah realita, kita sangat mungkin tidak adil menatapnya.
- Menistakan semua aktivistas berpolitik itu sebodoh menjunjung tinggi aktivitas politik. Ia adalah realitas yang bisa diambil dan diletakkan sesuai dengan kebutuhan kebaikan.
- Tulisan ini dibuat ketika kemudian terbayang kesedihan para ortu karena berbeda dengan anaknya,.., Terngiang2 curhatan para bapak2 senior kita tentang perbedaan ide dan gagasan dengan anak2 mereka. Eko Novianto

http://www.facebook.com/notes/eko-novianto/pendidikan-politik-untuk-anak-
http://www.pkspiyungan.org/2012/06/pendidikan-politik-untuk-anak-anak.html

Membanding-bandingkan anak, yang boleh dan tidak

Suatu ketika, saya mengambil buku raport sekolah anak. Penasaran juga; dapat ranking berapa anak saya di kelasnya. Ternyata, sekolah tempat anak saya menimba ilmu tidak memberikan ranking pada siswa-siswinya. Bisa bikin minder siswa yang tidak dapat ranking, katanya.

Usai pembagian raport, kami para wali murid kasak-kusuk, nanya ke sana ke sini tentang nilai dari masing-masing anaknya. Ternyata keingintahuan yang ada pada diri saya juga sama dengan yang lainnya. Akhirnya, kami pun bisa menyusun klasemen dari anak-anak kami. Walaupun pihak sekolah tidak memberikan ranking.

Pada kesempatan yang lain, saya bertemu dengan beberapa orang tua murid yang tidak mau menyebutkan nilai dari anaknya, saat ditanya orang lain. Alasannya anak bukan untuk dibanding-bandingkan. Usut punya usut, ternyata di sekolah ini habis diadakan seminar parenting buat para orang tua murid.

Pendapat Sebagian Ahli

Sebagian ahli parenting memang berpendapat bahwa anak kita bukanlah objek untuk dibanding-bandingkan. Dikomparasi satu dengan yang lain. Anak-anak kita bisa tersinggung, malu atau bahkan minder bila dibanding-bandingkan dengan teman-temannya yang lebih hebat, yang lebih pintar dan kelebihan lainnya. Ada benarnya.

Setiap anak adalah pribadi yang unik yang pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tugas kita adalah mendorong kelebihan yang ada pada anak kita tersebut agar tumbuh dan berkembang. Saya setuju dengan point ini.

Namun, saya pribadi punya sedikit perbedaan pendapat terkait anak tidak boleh dibanding-bandingkan. Bagi saya, parenting adalah sebuah ilmu. Ilmu yang dipelajari dari pengalaman orang tua (parent) dalam mendidik anak. Pengalaman orang lain, pengalaman pribadi dan kaitannya dengan disiplin ilmu yang lain seperti psikologi, keagamaan serta disiplin ilmu lainnya.

Bagi saya, setiap ilmu, aturan, kaidah yang sumbernya bukan dari Al-Qur’an dan Hadist maka kebenarannya bisa relatif. Nisbi. Bisa diperdebatkan. Bisa berubah ukuran kebenarannya.

Seperti halnya dalam masalah pendidikan anak. Manakala kaidah di dalamnya masih merupakan hasil pemikiran manusia, maka masih berlaku hukum nisbi tadi. Kebenarannya tidaklah mutlak. Berbeda dengan kaidah dalam pendidikan anak yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist. Contoh sederhananya terkait dengan menyusui. Dalam Al-Qur’an diatur tentang lamanya menyusui anak yang sempurna adalah dua tahun. Maka hal ini bersifat paten. Tidak perlu didebat. Tidak perlu didiskusikan lagi. Kalaupun didiskusikan adalah dalam rangka mencari kebaikan-kebaikan yang ada di dalamnya. Bukan dalam rangka menolaknya.

Demikian juga terkait dengan umur dimulainya anak kita dipisah tempat tidur dan umur mulai menjalankan shalat. Ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang menyatakan “Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika usia mereka tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan)-nya saat berusia sepuluh tahun dan pisahkan mereka di tempat tidur”. Ini juga paten. Tidak perlu didebat. Tidak perlu didiskusikan untuk menolaknya. Yang perlu didiskusikan adalah bagaimana agar anak-anak kita bisa menerapkannya. Dan kita sebagai orang tua bisa mengarahkan dan membimbing anak kita agar bisa mempraktekkannya.

Bagaimana membandingkan, Itu Kuncinya

Kembali ke masalah awal. Ketika sebagian ahli parenting berpendapat bahwa anak janganlah dibanding-bandingkan, saya berpendapat lain. Menurut saya, tergantung bagaimana konteks kita membanding-bandingkannya !

Apabila kita membandingkan anak kita dengan anak lain, dalam hal nilai misalnya; dengan mengatakan “Nak, kamu ini gimana sih ? Nilai matematikamu cuma 54. Sedangkan si Fulan temanmu bisa 100. Padahal kamu sekelas, gurunya sama, soalnya sama kok kamu kalah jauh?”

Kalau begini caranya memang benar, anak kita bisa down. Sudah malu dapat nilai sedikit, sama orang tuanya makin dipermalukan.

Namun, akan berbeda efeknya buat anak kita apabila kita menyampaikan kepada anak kita berbeda caranya. ” Nak, hebat kamu. Soal matematika sebanyak dan sesusah ini kamu bisa dapat nilai 54 ! Nggak usah sedih. Ayah yakin kamu pasti bisa lebih dari ini. Lihat temanmu si Fulan. Ternyata dia bisa dapat 100. Pasti kamu juga bisa. Lha wong kalian sekelas, gurunya sama, soalnya juga sama kok. Sekarang lebih semangat lagi, lain kali insyaalloh pasti kamu juga bisa dapat nilai 100 !”

Beda khan?

Ya, beda cara menyampaikannya dan saya yakin akan berbeda pengaruhnya kepada psikologi anak kita. Padahal kita sama-sama melakukan perbandingan. Sama-sama mengkomparasikan anak kita dengan anak yang lain. Artinya membandingkan anak bukanlah hal yang terlarang. Bukan hal yang tabu. Tergantung konteksnya.

Suatu Hal yang Tidak Mungkin Dihindari

Kita juga perlu menyadari bahwa saat anak kita memasuki dunia kerja, maka seleksi pertama yang dilakukan oleh instansi/perusahaan tempat mereka akan bekerja juga akan dilakukan melalui perbandingan. Anak-anak kita akan dibanding-bandingkan dengan calon pegawai yang lain. Dibandingkan pendidikannya, lebih spesifik bahkan IPK-nya. Dibandingkan keterampilannya. Dibandingkan kemampuannya berkomunikasi. Dan hal lain yang dianggap penting dalam menentukan siapa yang terbaik di antara mereka.

Pada akhirnya komparasi ini tetap akan dialami anak-anak kita. Dalam berbagai hal dan kondisi. Saat sudah bekerja pun mereka tetap akan dibandingkan dengan pegawai lain. Dibandingkan kedisiplinannya. Dibandingkan prestasinya. Dibandingkan kinerjanya. Dan sebagainya.

Karenanya, menurut saya; apabila sedari kecil anak kita tidak boleh dan tidak pernah dibandingkan maka mereka akan kaget saat memasuki arena kompetisi dalam berbagai hal. Tentunya sekali lagi cara kita membandingkannya inilah yang menjadi kunci.

Di jepang semangat berkompetisi, berlomba sangat ditumbuhkan. Agar anak-anak di sana lebih kompeten. Lebih berdaya saing. Namun tentunya kompetisi yang ditumbuhkan juga fair dan penuh semangat positif. Dan sekarang kita bisa melihat seperti apa Jepang dibanding Indonesia.
Jadi…. Masih tidak bolehkah anak kita dibanding-bandingkan ??? Terserah anda si “empunya” anak yang hanya dititipi oleh Alloh SWT….. Wallahu’alam.

Rakhmat Basuki, Ayah dari dua orang anak yang masih bersekolah, tinggal di Palangka Raya Kalimantan Tengah

http://www.pkspiyungan.org/2014/08/membanding-bandingkan-anak-yang-boleh.html

Membangun Sistem Pendidikan yang Ideal

Hiruk pikuk dunia pendidikan di Indonesia pada bulan ini terlihat dalam rangkaian perayaan Hari Guru Nasiona yang senantiasa di peringati pada setiap tanggal 25 November, ini terlihat dari berbagai macam acara untuk memperingatinya. Pada tahun ini, tema sentral yang diambil dalam perayaan ini adalah “Memacu Peran Strategis Guru dalam Mewujudkan Guru yang Profesional, Bermartabat, dan Sejahtera” dan Subtema adalah “Meningkatkan Profesionalisme, Kesejahteraan, dan Perlindungan Guru melalui Organisasi Profesi Guru yang Kuat dan Bermartabat”.
Kalimat-kalimat di atas adalah jargon tentang usaha bagaimana menjadikan guru mempunyai peran yang penting dalam mencerdaskan generasi berikutnya dengan jalan menjadikan guru sebagai sebuah profesi yang bermartabat dan menyejahterakan. Jargon ini yang senantiasa disampaikan kepada guru yang merupakan pendidik-pendidik dari generasi-generasi muda berikutnya.
Memang ada beberapa hal terkait dengan persoalan guru atau pendidikan secara umum. Guru seakan-akan merupakan penanggungjawab utama baik buruknya generasi muda. Hal ini  dilakukan dengan memberikan iming-iming kata-kata kesejahteraan yang bahkan bagi beberapa guru hal tersebut tidak pernah mereka rasakan. Jangankan merasakan, karena hal tersebut merupakan angan-angan yang jauh dari kenyataan. Di sisi lain, dengan kampanye peran guru berbanding lurus dengan kesejahteraan maka, banyak pula guru-guru yang kadang orientasi utamanya bukan dalam rangka mendidik akan tetapi dalam rangka menetapi kebutuhan dia dalam mendapatkan kesejahteraan.
Belum lagi kalau kita melihat output dari pendidikan saat ini yang sangat jauh dari harapan untuk menjadi manusia-manusia berkualitas. Karena terbukti sekarang banyak sekali orang pintar, pandai akan tetapi kepribadiannya cacat karena dia seorang koruptor, mafia hukum. Tentunya dalam peringatan hari guru ini kitapun bertannya, bagaimana sebenarnya peran guru dalam membentuk generasi muda yang berkepribadian yang benar? Salahkah sistem pendidikan kita? Sehingga Output pendidikan sangat jauh dari harapan???
Potret Guru dan Pendidikan di Indonesia
Dunia Guru dan Pendidikan di Indonesia selalu menjadi sorotan masyarakat terutama berkaitan dengan sistem penyelenggaraan pendidikan nasional. Berulangnya hari pendidikan nasional maupun hari guru nasional rupanya tidak merubah kondisi dunia pendidikan di Indonesia. Slogan-slogan yang dimunculkan dalam peringatan-peringatan tersebut hanyalah sebuah kata-kata manis yang berupa khayalan belaka yang tidak pernah dapat diwujudkan.
Pelayanan pendidikan nasional belum menjangkau seluruh masyarakat khususnya masyarakat miskin, di mana sebagai contoh program yang digembar-gemborkan bahwa pendidikan gratis dengan adanya BOS dan BOP juga tidak bisa dirasakan oleh semua masyarakat. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Jakarta, sebanyak 117 siswa TKBM mengaku tidak merasakan bantuan dana dari pemerintah ini yang seharusnya menjadi hak mereka (Pos Kota: 2 Maret 2010). Fakta ini merupakan 1 contoh dari sekian banyak kasus penyelewengan penggunaan dana BOS dalam kegiatan pendidikan di negeri ini. Hal inipun tentunya memperkuat anggapan bahwa negara belum bisa memenuhi kebutuhan pendidikan kepada seluruh warga negara walaupun konstitusi sudah mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan dari negara. Begitu juga dengan kondisi guru yang di beberapa tempat sangat memprihatinkan, hal ini tentunya sangat berbeda sekali dengan kondisi guru pada masa kejayaan islam, dimana guru sangat dihargai jasa-jasanya baik itu pengajar umum atau pengajar agama.
Adapun terkait dengan kualitas pendidikan, sesungguhnya kualitas pendidikan sangat ditentukan pada manajemen penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan pada jaman kolonial hanya diberikan kepada para penguasa serta kaum feodal saja, sementara itu pendidikan rakyat hanya sampai di sekolah-sekolah kelas 2 atau ongko loro. Standar yang dipakai untuk mengukur kualitas pendidikan rakyat pada waktu itu diragukan, karena sebagian besar rakyat tidak memperoleh pendidikan secara layak. Kondisi seperti ini berkembang hingga masa orde lama, pendidikan dimasuki oleh politik praktis atau mulai dijadikan kendaraan politik sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan Orde Lama.
Sedangkan pada masa Reformasi, bidang pendidikan bukan lagi tanggung jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada di tangan pemerintah pusat. Perubahan dari sistem sentralisasi ke desentralisasi telah membawa konsekuensi-konsekuensi yang jauh di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Pergantian rezim ternyata tidak membuahkan hasil yang signifikan terhadap kualitas pendidikan di Indonesia,  justru pendidikan nasional semakin kehilangan arah tujuan yang hendak dicapai. Salah satu produk yang membuat kualitas pendidikan buruk adalah penetapan bahwa badan pendidikan bukan merupakan badan publik yang mestinya dapat diakses oleh semua orang, akan tetapi malah menjadi badan hukum profit yang memprioritaskan pada keuntungan. Juga berkaitan dengan adanya sistem seleksi dalam setiap jenjang pendidikan yang menjadi jalan bagi pemerintah secara legal membatasi masyarakat untuk mendapatkan haknya dalam bidang pendidikan.
Buah Hasil Bobroknya Gaya Pendidikan Kapitalisme
Dipungkiri atau tidak, bahwa paradigma pendidikan yang saaat ini berjalan adalah paradigma kapitalisme. Karena disadari atau tidak bahwa orientasi pendidikan di negeri ini sedikit banyak untuk mencari keuntungan, hal ini bisa kita lihat dalam beberapa kebijakan pemerintah yang justru mengarah pada swastanisasi pendidikan seperti munculnya UU BHP yang secara jelas mendukung pada arah komersialisasi pendidikan sebagaimana yang dikehendaki kapitalisme.
Gaya Pendidikan Kapitalisme lainnya yang diikuti oleh negeri ini dalam dunia pendidikan adalah dengan pengiriman mahasiswa-mahasiswa ke luar negeri untuk melanjutkan studi di negeri-negeri Barat. Secara kasat mata memang tidak ada yang salah kalau menuntut ilmu sampai pada negara-negara Barat. Yang menjadi pertanyaan adalah mahasiswa-mahasiswa negeri ini dikirim untuk mempelajari dan memahami peradaban-peradaban barat. Tujuannya adalah supaya hegemoni peradaban barat senantiasa dihembuskan kepada para mahasiswa yang belajar tentang peradaban-peradaban barat yang selanjutnya akan menjadi da’i dari peradaban barat di negerinya sendiri. Kalau memang mau konsisten ingin meningkatkan science maka seharusnya mahasiswa dikirim ke barat dalam rangka untuk mempelajari science dan teknologi. Hal ini tentunya akan menjadikan negeri-negeri berkembang akan menjadi segeri yang semakin maju science dan teknologinya.
Hal ini menunjukkan bahwa gaya pendidikan kapitalisme mengarahkan kepada negeri untuk menjadi pembebek ideologi kapitalisme, menjadi penyambung lidah peradaban kapitalisme untuk menancapkan hegemoni pemikiran dan peradabannya di dunia termasuk bagi kaum muslimin.
Penerapan gaya pendidikan kapitalisme ini akhirnya menghasilkan output-output pendidikan sebagai pengikut atau pendukung kapitalisme/liberalisme. Banyak contoh menunjukkan bagaimana pendidikan saat ini tidak mampu untuk mengatasi pembangunan akhlak dan kepribadian pemuda-pemudi di Indonesia. Dimana-mana banyak aborsi, tawuran, free sex, drugs, dan sebagainya. Kita lihat pula berapa banyak orang-orang pintar dan pandai akan tetapi dia menjadi pencuri berdasi alias koruptor. Hal ini tentunya menunjukkan bagaimana bobroknya sistem pendidikan saat ini yang seharusnya menjadi catatan kita bersama.
Membangun Sistem Pendidikan yang Ideal
Fakta-fakta kebobrokan dalam sistem penyelenggaraan pendidikan saat ini membuat kita perlu bertanya, apakah sistem penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi pada masyarakat bisa diwujudkan? Jawabnya tentu bisa, asalkan dengan ketentuan dan aturan yang benar bukan aturan dan ketentuan yang dibuat-buat berdasarkan kepentingan.
Sistem penyelenggaraan pendidikan secara garis besar hanya meliputi dua hal, yaitu berkaitan dengan sistem pengelolaan administrasi pemenuhan pendidikan dan substansi kurikulum pendidikan. Dua hal inilah yang menjadi persoalan utama dalam membangun dunia pendidikan saat ini.
Pertama, membangun sistem pengelolaan administrasi dan penegakan dalam pemenuhan hak pendidikan. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat. Pendidikan merupakan hak bagi masyarakat, dengan arti bahwa masyarakat berhak untuk menanyakan dan menuntut hak yang seharusnya diperoleh dalam dunia pendidikan. Sedangkan kewajiban negara untuk memenuhinya adalah usaha negara dalam mewujudkan dan melaksanakan kewajiban terhadap pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat yang salah satunya adalah kebutuhan pendidikan. Hal ini sebagaimana sabda oleh Rasulullah saw. :
“Setiap imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, maka ia akan diminta pertanggung jawaban terhadap tanggungannya.”
Berkaitan dengan hal ini, keberadaan negara dan jajarannya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat  dalam memenuhi kebutuhan pendidikan. Pemenuhan kebutuhan pokok oleh negara ini adalah merupakan pelaksanaan dari hukum syara’, yang harus disertai dengan metode pelaksanaan dan metode penegakannya. Ketika syara’ sudah menetapkan bahwa pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat wajib bagi negara, maka negara harus sudah memikirkan bagaimana pemenuhan kebutuhan itu berkaitan dengan anggaran, sarana prasarana dengan sumber-sumber yang jelas, bukan hanya sekedar manis dalam aturan saja. Misalkan di dalam sistem Islam, anggaran pendidikan merupakan kebutuhan masyarakat umum maka pos anggaran yang dialokasikan adalah dari harta kepemilikan umum yang peruntukannya memang untuk kepentingan umum termasuk di dalamnya untuk pemenuhan pendidikan. Demikian pula dalam metode penegakkannya, jika melihat aparatur negara/pemimpin suatu daerah tidak memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, walaupun hanya satu orang, maka pemimpin di daerah tersebut harus dimintai pertanggung jawaban atas apa yang sudah diperbuat dan dapat diajukan ke pengadilan.
Kedua, substansi kurikulum pendidikan. Substansi kurikulum pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membentuk kepribadian yang benar bagi anak didik dan membangun keahlian/ketrampilan yang dapat digunakan dalam menjalani kehidupannya kelak. Dua tujuan inilah yang harus menjadi simpul dalam kurikulum sebuah sistem pendidikan. Membentuk kepribadian Islam ini berkaitan dengan penguatan akidah Islam dan kebiasaan untuk terikat dengan hukum syara’, ini bertujuan untuk membuat anak didik memiliki ketaqwaan kepada Allah swt. yang menjadi perisai dalam menjalani kehidupan di dunia dan bekal di akhirat. Sedangkan keahlian dan ketrampilan merupakan kebutuhan untuk memberikan bekal skill bagi anak didik agar dapat mendukung kemandirian dalam menjalani kehidupan di dunia.
Beberapa hal inilah yang seharusnya diperhatikan oleh negara berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan. Dunia pendidikan jangan sampai dijadikan sebagai kelinci percobaan dalam setiap kebijakan-kebijakannya, karena rakyatlah yang pasti akan menderita. Membangun sistem penyelenggaraan pendidikan yang baik dan benar hanya dapat diwujudkan dengan sistem yang telah teruji, terbukti dan hanya berpihak kepada kepentingan rakyat, yaitu dengan sistem Islam bukan yang lain.Waallahu a’lamu bishawab.
http://politikislam123.wordpress.com/2010/11/26/membangun-sistem-pendidikan-yang-ideal/